HUKUM IHTIKAR (MENIMBUN BARANG DAGANGAN) OLEH : KH. M. SHIDDIQ AL-JAWI, SSi, MSi Ihtikar menurut Pengertian Bahasa (Etimologi) : Ihtikar (الاحتكار) berakar dari kata jadian (mashdar) al hakru (الحَكر) atau al hukru (الحُكر ) yang berarti : جَمْع الطَّعَام وَنَحْوِه وَإِمْسَاكُه وَحِرْمَانُ النَّاسِ مِنْهُ “Mengumpulkan makanan atau semisalnya dan menahannya serta mencegah masyarakat darinya.” (Ahmad Irfah, Al Ihtikar Dirasah Fiqhiyyah Muqaranah, hlm. 18) Ihtikar Menurut Pengertian Syariah Islam (Terminologi) : Adapun definisi ihtikar menurut istilah syariah, adalah : الاحتكارهوجمع السِّلَع انتظاراً لغلاءها حَتَّى تُبَاعَ بأسعارغالية بِحَيْث يُضَيِّقُ عَلَى أَهْلِ الْبَلَدِ شِرَاءَهَا “Ihtikar adalah mengumpulkan barang dagangan dengan maksud menunggu harganya naik supaya barang dagangan itu dapat dijual dengan harga mahal dalam keadaan menyulitkan masyarakat untuk membelinya.” (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam, hlm. 198). Dari definisi tersebut, yang disebut ihtikar haruslah memenuhi 3 (tiga) syarat, yaitu : Ihtikar secara mutlak hukumnya haram, baik barang dagangannya berupa bahan makanan pokok (al quut), seperti beras, atau barang dagangan lainnya, seperti BBM (Bahan bakar Minyak). Intinya, larangan ihtikar meliputi seluruh barang dagangan, baik makanan pokok untuk manusia (quut al adamiy), makanan pokok untuk hewan (quut ad dawaab), maupun bukan bukan makanan pokok, baik berupa kebutuhan primer (sandang, pangan, papan); sekunder (TV, HP, kendaraan); atau tersier (mewah/lux), seperti jam tangan mahal. Keharamannya didasarkan pada hadits-hadits Nabi SAW yang melarang secara tegas (nahi jazim) terhadap aktivitas ihtikar. Hadits-hadits tersebut mempunyai pengertian yang umum (mencakup segala barang dagangan), dan bersifat mutlak (tanpa ada batasan untuk barang dagangan tertentu.). Menurut ilmu ushul fiqih, nash yang umum dan mutlak tetap dalam keumuman dan kemutlakannya, selama tidak terdapat nash yang menjadi takhsis (pengecuali) atau taqyiid (pembatas). Dalil-dalil yang mengharamkan ihtikar antara lain : عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ عَنْ مَعْمَرٍ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْعَدَوي أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لَا يَحْتَكِرُ إلَّا خَاطِئٌ Dari Said bin Al Musayyab RA dari Mu’ammar bin Abdillah Al Adawi, bahwa Nabi SAW bersabda : “Tidaklah melakukan penimbunan, kecuali orang yang bersalah (berdosa).” (HR Muslim no 1605, Ahmad (6/400), Abu Dawud no 3447). Imam Syaukani mensyarah (menjelaskan) hadits di atas dengan berkata : وَالتَّصْرِيح بِأَن الْمُحْتَكِر خَاطِئٌ كَافٍ فِى إفَادَةِ عَدَمِ الْجَوَازِ لِأَنَّ الْخَاطِئ الْمُذْنِب الْعَاصِي “Ungkapan yang jelas bahwa orang yang menimbun adalah orang yang bersalah, cukuplah untuk menunjukkan tidak bolehnya ihtikar, karena orang bersalah itu maksudnya adalah orang yang berdosa yang berbuat maksiat.” )Imam Syaukani, Nailul Authar, Juz 5 hlm. 267(. Imam Shan’ani mensyarah (menjelaskan) hadits di atas : الْخَاطِئ هُوَ الْعَاصِي الْآثِمُ ، وَفِى الْبَابِ أَحَادِيثُ دَالَّةٌ عَلَى تَحْرِيمِ الِاحْتِكَار “Kata ‘orang yang bersalah’ (al khaathi`) artinya adalah orang yang berbuat maksiat, yang berdosa. Dan dalam bab ini terdapat hadits-hadits yang menunjukkan keharaman ihtikar.” (Imam Shan’ani, Subulus Salam, Juz 3 hlm. 44). Dalil lainnya : عَنْ مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ دَخَلَ فِى شَيْءٌ مِنْ أَسْعَارِ الْمُسْلِمِينَ لِيُغْلِيَهُ عَلَيْهِمْ كَانَ حقاً عَلَى اللَّهِ أَنْ يُقْعِدَهُ بِعَظْمٍ مِنْ النَّارِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ Dari Ma’qil bin Yasaar dia berkata, ”Rasulullah SAW telah bersabda, ’Barangsiapa mencampuri urusan harga-harga kaum muslimin untuk menaikkan harganya atas mereka, maka sungguh Allah akan menempatkan dia di suatu tempat di neraka pada Hari Kiamat nanti.” HR Thabrani. (Imam Syaukani, Nailul Authar, Juz 5 hlm. 266). Doktor Ahmad Irfah, dalam kitabnya Al Ihtikar Dirasah Fiqhiyyah Muqaranah, menjelaskan hadits tersebut : دَلَّ هَذَا الْحَدِيثُ عَلَى مُعَاقَبَةِ مَنْ يَقْدِمُ عَلَى ذَلِكَ بِمَكَان فِى النَّارِ ، وَلَا يَكُونُ ذَلِكَ إلَّا لِارْتِكَابِهِ الْمُحَرَّمَ “Hadits ini menunjukkan hukuman bagi orang yang melakukan hal itu [mencampuri persoalan harga kaum muslimin] yaitu akan diletakkan di suatu tempat di neraka. Hal ini tentu tidaklah terjadi kecuali karena dia melakukan sesuatu yang diharamkan.” )Ahmad Irfah, Al Ihtikar Dirasah Fiqhiyyah Muqaranah, hlm. 8(. Berdasarkan nash-nash hadits ini, jelaslah bahwa keharaman ihtikar bersifat mutlak (tanpa batasan pada komoditas tertentu) dan umum (meliputi segala komodits). Inilah pendapat rajih (kuat), di antara tiga pendapat yang ada di kalangan ulama. Inilah pendapat ulama Malikiyyah, Zhahiriyyah, Imam Abu Yusuf dari mazhab Abu Hanifah, Imam Syaukani, Imam Shan’ani, dan Imam Taqiyuddin An Nabhani. (Ahmad Irfah, Al Ihtikar Dirasah Fiqhiyyah Muqaranah, hlm. 13). Ada dua pendapat yang marjuuh (lemah secara tarjiih) yang membatasi keharaman ihtikar, yaitu : Pertama, pendapat ulama Syafi’iyyah dan jumhur ulama Hanabilah, yang mengatakan bahwa keharaman ihtikar hanya khusus untuk makanan pokok saja (al aqwaat). Kedua, aatu pendapat dari ulama madzhab Hanabilah, yang mengatakan bahwa keharaman ihtikar hanya khusus untuk makanan pokok manusia saja (quut al adamiy). (Ahmad Irfah, Al Ihtikar Dirasah Fiqhiyyah Muqaranah, hlm. 13). Kelemahan dua pendapat lainnya tersebut dikarenakan dua alasan : Pertama, hadits yang mereka jadikan dasar merupakan hadits dhaif (lemah). Kelemahan hadits diterangkan oleh Dr. Ahmad Irfah dalam kitabnya Al Ihtikar Dirasah Fiqhiyyah Muqaranah hlm. 12. Kedua, karena pemahaman (dirayah) terhadap hadits itu juga tidak tepat, andaikata hadits itu shahih. Kekeliruan pemahaman hadits diterangkan oleh Imam Taqiyuddin An Nabhani dalam An Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam, hlm. 197-199. Hadits yang dijadikan sandaran antara lain: عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ احْتَكَرَ عَلَى الْمُسْلِمِينَ طَعَامَهُمْ ضَرَبَهُ اللَّهُ بِالْجُذَامِ وَالْإِفْلَاسِ Dari Umar bin Khaththab RA dia berkata, ”Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, ’Barangsiapa menimbun atas kaum muslimin makanan mereka, maka Allah akan memukulnya dengan penyakit kusta dan kebangkrutan.” (HR Ibnu Majah, no 2115). Kata Imam Syaukani, ”Dalam hadits Umar di atas ada periwayat hadits bernama Al Haitsam bin Rafi’, dimana Abu Dawud berkata, ”Al Haitsam bin Rafi’ meriwayatkan hadits munkar (menyalahi periwayat yang tsiqah).” Imam Adz Dzahabi berkata, ”Inilah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, di dalam sanadnya ada periwayat bernama Yahya Al Makki, seorang yang majhuul (tak diketahui identitasnya).” (Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, Juz 5 hlm. 266). Kata Imam An Nabhani, hadits dengan kata “tha’aam” (makanan) tidak dapat diamalkan mafhum mukhalafah-nya (pengertian sebaliknya). Artinya, jika ihtikar terhadap makanan dilarang, tidak berarti ihtikar untuk selain makanan dibolehkan. Mafhum mukhalafah-nya tidak dapat diamalkan karena kata “tha’aam” adalah isim jamid (nama untuk sesuatu tertentu), bukan shifat/na’at yang mempunyai mafhum mukhalafah. (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam, hlm. 198). Secara teknis, mafhum mukhalafah ini disebut dengan mafhum laqab, yaitu mafhum dari isim jamid li musamma mu’ayyan (isim jamid sebagai nama untuk sesuatu yang tertentu). Misalnya ada ungkapan bahasa Arab : akrim Umar (artinya : muliakan Umar !) Mafhum mukhalafah-nya (yakni mafhum laqab), adalah “Jangan muliakan selain Umar !” Mafhum laqab seperti ini tidak dapat dibenarkan. Demikian pula kata “tha’aam” dalam hadits-hadits tentang ihtikar, merupakan isim jamid yang tidak dapat ditarik mafhum mukhalafah-nya. 4.Kesimpulan Pertama, Ihtikar adalah mengumpulkan barang dagangan dengan maksud menunggu harganya naik supaya barang dagangan itu dapat dijual dengan harga mahal dalam keadaan menyulitkan masyarakat untuk membelinya. Kedua, Ihtikar hukumnya haram, dan keharamannya bersifat umum (mencakup segala barang dagangan), dan bersifat mutlak (tanpa ada batasan untuk barang dagangan tertentu). Wallahu a’lam. DAFTAR BACAAN
Bagi para pembaca yang ingin menanyakan masalah Agama kepada KH. M. Shiddiq Al Jawi, silakan isi form pertanyaan di bawah ini. KH. M. Shiddiq Al Jawi insya Allah akan berusaha menjawab pertanyaan dari para pembaca melalui email.