HUKUM MENGAMALKAN SYIRKAH YANG TIDAK SAH KARENA BELUM BELAJAR SYIRKAH SECARA MENDALAM


 

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi

 

Pendahuluan

Sudah diketahui sebagai prinsip dasar dalam Islam, bahwa seorang muslim itu wajib terikat dengan hukum syara’, sesuai kaidah fiqih :

 

الْأَصْلُ فِي الْأَفْعَالِ التَّقَيُّدُ بِالْحُكْمِ الشَّرْعِيِّ، فَلَا يُقَامُ بِفِعْلٍ إِلَّا بَعْدَ مَعْرِفَةِ حُكْمِهِ

 

“Hukum asal untuk perbuatan-perbuatan manusia, adalah terikat dengan hukum syara’. Maka tidak boleh dilakukan suatu perbuatan, kecuali setelah mengetahui hukumnya.” (Taqiyuddin An-Nabhani, Muqaddimah Al-Dustūr, 1/80).

 

Maka dari itu, berdasarkan kaidah tersebut, sebelum seorang muslim melakukan suatu perbuatan, termasuk berbisnis dengan mengamalkan syirkah dalam Islam, tidak boleh tidak dia harus mengetahui lebih dulu hukum-hukum syirkah itu secara mendalam, yakni dalam kadar yang cukup yang sekiranya harus dia pahami dalam bisnisnya, bukan sekedar mengetahui hukum-hukum syirkah Islami secara garis besarnya saja.

 

Berikut ini kami akan sajikan studi kasus adanya sebagian beberapa muslim yang bersyirkah, tetapi bentuk syirkah yang mereka amalkan ternyata menyalahi syariah. Dan pelanggaran syariah ini terjadi karena pemahaman mereka mengenai syirkah masih sangat mendasar (basic) dan belum mencukupi untuk melaksanakan bisnis berdasarkan syirkah yang Islami. Kami juga akan menjelaskan bagaimana solusi Islam ketika seorang muslim melakukan suatu pelanggaran syariah, yang disebabkan oleh ketidaktahuan dia dalam hukum syariah.

 

Studi Kasus Seputar Bentuk Syirkah : Syirkahnya Tiga Orang, Dua Orang Berkontribusi Modal Dan Kerja, Satu Orang Hanya Berkontribusi Kerja

 

Jadi ada tiga orang bersyirkah, sebut saja A, B, dan C. Pihak A dan B sama-sama berkontribusi modal dan kerja, dengan modal masing-masing sebesar Rp 500 juta. Sedangkan pihak C hanya berkontribusi kerja, namun tidak berkontribusi modal sama sekali. Bolehkah bentuk syirkah seperti ini? Untuk diketahui, bahwa ketika A, B., dan C menjalankan syirkah tersebut di atas, mereka baru belajar syirkah, tapi belum begitu mendalam. Bahkan mereka belum belajar syirkah secara khusus dari kitab Al-Nizhām al-Iqtishādi fī al-Islām karya Imam Taqiyuddin An-Nabhani.  

 

Apakah syirkah dalam bentuk yang diamalkan oleh A, B, dan C tersebut sah menurut syara’?

 

Jawabannya, syirkah yang diamalkan dalam kasus ini, menurut kami terbukti telah menyalahi syara’, karena tidak sesuai dengan model Syirkah ‘Inān dan Syirkah Mudhārabah yang dibolehkan syara’, sesuai pendapat Imam Taqiyuddin An-Nabhani, rahimahullāh, dalam kitabnya Al-Nizhām al-Iqtishādi fī al-Islām.

 

Syirkah yang diamalkan tersebut, adalah syirkah antara 3 (tiga) syarīk (pesyirkah), yang terdiri dari dua syarīk yang masing-masing berkontribusi modal dan kerja, yaitu A dan B, dengan satu syarīk lainnya, yaitu C, yang hanya berkontribusi kerja, tanpa berkontribusi modal. 

 

Syirkah yang diamalkan di atas, telah menyalahi syara’, karena tidak sesuai dengan model Syirkah ‘Inān, yang definisinya adalah sebagai berikut :

 

شَرِكَةُ الْعِنَانِ هِيَ أَنْ يَشْتَرِكَ بَدَنَانِ بِمَالَيْهِمَا، أَيْ أَنْ يَشْتَرِكَ شَخْصَانِ بِمَالَيْهَا عَلَى أَنْ يَعْمَلَا فِيهِ بِأَبْدَانِهِمَا وَالرِّبْحُ بَيْنَهُمَا

 

Syirkah ‘Inān adalah berserikatnya dua badan (dua orang pengelola modal),  dengan modal yang berasal dari keduanya (keduanya sama-sama berkontribusi modal). Artinya, syirkah ‘inan adalah berserikatnya dua orang dengan kontribusi modal dari keduanya, yang keduanya akan sama-sama bekerja dalam syirkah terrsebut, dengan keuntungan (bagi hasil) sesuai kesepakatan di antara keduanya.” (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Nizhām al-Iqtishādi fī al-Islām, hlm. 150, Bab Syirkah ‘Inān).

 

Berdasarkan definisi Syirkah ‘Inān tersebut, syirkah yang ditanyakan telah menyalahi syara’ karena ada satu orang syarīk yang hanya berkontribusi kerja (tanpa berkontribusi modal), sedang dua orang syarīk lainnya, telah berkontribusi modal dan kerja sekaligus.

 

Syirkah yang diamalkan ini sebenarnya dapat disyariahkan menjadi Syirkah ‘Inān, dengan cara mengulangi akad syirkah yang ada, dan pada akad yang baru, syarīk yang awalnya hanya berkontribusi kerja, diminta untuk berkontribusi modal dalam jumlah modal yang sewajarnya (bukan sekedar jumlah formalitas), seperti dua orang syarīk lainnya. Namun hal ini tidak terjadi, sehingga akhirnya terjadi cacat hukum pada syirkah yang ditanyakan tersebut, karena tidak memenuhi definisi Syirkah ‘Inān tersebut.

 

Di sini kami menegaskan, bahwa kontribusi modal dari syarīk yang hanya berkontribusi kerja tersebut, hendaknya dalam jumlah modal yang sewajarnya, bukan sekedar formalitas dalam sembarang jumlah agar menjadi Syirkah ‘Inān. Misalnya, syarīk tersebut hanya berkontribusi Rp 5 juta, sementara syarīk-syarīk lainnya berkontribusi modal sebesar Rp 500 juta. Tentu jumlah modal ini hanya sekedar formalitas dan tidak sewajarnya, padahal yang dituntut oleh syara’ adalah jumlah modal yang sewajarnya, yang dapat merujuk pada kebiasaan umum dalam masyarakat untuk usaha (bisnis) yang serupa.  

 

Terdapat kaidah fiqih yang relevan dalam masalah ini, yang berbunyi :

 

كُلُّ مَا وَرَدَ بِهِ الشَّرْعُ مُطْلَقًا وَلَا ضَابِطَ لَهُ فِيهِ وَلَا فِي اللُّغَةِ يَرْجِعُ فِيهِ إِلَى الْعُرْفِ

 

Kullu mā warada bihi al-sy syar’u muthlaqan wa lā dhābitha lahu fīhi wa lā fī al-lughati yarji’u fīhi ila al-‘urfi. Artinya, “Segala sesuatu ketentuan syariah yang bersifat mutlak, yang tidak ada patokannya menurut Syariah Islam atau menurut Bahasa Arab, maka patokannya dikembalikan kepada kebiasaan masyarakat (‘urf).” (Imam Jalaluddin As-Suyūthī, Al-Asybāh wa Al-Nazhā`ir, hlm. 98).

 

Jadi, syirkah yang diamalkan di atas, telah terbukti melanggar syara’ karena tidak sesuai dengan definisi Syirkah ‘Inān, yang mensyaratkan semua syarīk untuk berkontribusi dua hal sekaligus, yaitu modal dan kerja.

 

Syirkah yang diamalkan di atas, juga tidak sesuai dengan bentuk syirkah lain, yaitu Syirkah Mudhārabah, dalam bermacam-macam modelnya. Terdapat 4 (empat) model/bentuk syirkah mudharabah yang dibolehkan syara’ sesuai pendapat Imam Taqiyuddin An-Nabhani, yaitu :

 

Model Pertama, syirkah mudharabah antara seorang pemodal (shāhibul māl) dan seorang pengelola modal (mudhārib). Imam Taqiyuddin An-Nabhani menjelaskan :

 

شَرِكَةُ الْمُضَارَبَةِ هِيَ أَنْ يَشْتَرِكَ بَدَنٌ وَمَالٌ

 

“Syirkah mudharabah adalah berserikatnya satu orang pengelola modal dengan satu orang pemodal.” (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Nizhām al-Iqtishādi fī al-Islām, hlm. 154, Bab Syirkah Mudhārabah).

 

Model Kedua, syirkah mudharabah antara dua orang pemodal, dengan pengelola modal salah satu dari dua orang pemodal itu. Imam Taqiyuddin An-Nabhani menjelaskan :

 

وَمِنْ الْمُضَارَبَةِ أَنْ يَشْتَرِكَ مَالَانِ وَبَدَنُ أَحَدِهِمَا

 

“Dan termasuk dalam kategori syirkah mudharabah, adalah berserikatnya dua orang pemodal, dengan pengelola modal salah satu dari dua orang pemodal itu.” (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Nizhām al-Iqtishādi fī al-Islām, hlm. 155, Bab Syirkah Mudhārabah).

  

Model Ketiga, syirkah mudharabah antara dua orang pemodal, dengan pengelola modal orang ketiga di luar dua orang pemodal itu. Imam Taqiyuddin An-Nabhani menjelaskan :

 

وَكَذَلِكَ مِنْ الْمُضَارَبَةِ أَنْ يَشْتَرِكَ مَالَانِ وَبَدَنُ غَيْرِهِمَا

 

“Dan demikian pula, termasuk dalam kategori syirkah mudharabah, adalah berserikatnya dua orang pemodal, dengan pengelola modal pihak ketiga di luar dua orang pemodal itu.” (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Nizhām al-Iqtishādi fī al-Islām, hlm. 155, Bab Syirkah Mudharabah).

 

Model Keempat, syirkah mudharabah antara dua orang pengelola modal (mudhārib), dengan pemodal (shāhibul māl) orang ketiga di luar dua orang pengelola modal itu. Imam Taqiyuddin An-Nabhani menjelaskan :

 

وَمِنْ الْمُضَارَبَةِ أَنْ يَشْتَرِكَ َبَدَناَنِ بِمَالِ غَيْرِهِمَا

 

“Dan termasuk dalam kategori syirkah mudharabah, adalah berserikatnya dua orang pengelola modal, dengan pemodal orang ketiga di luar dua orang pengelola modal itu.” (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Nizhām al-Iqtishādi fī al-Islām, hlm. 156, Bab Syirkah Wujūh, dengan sedikit perubahan redaksional tanpa mengubah makna).

 

Setelah kami melakukan studi induktif (al-istiqrā`) terhadap model-modal syirkah mudharabah yang dibolehkan syara’ menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani di atas, kami menyimpulkan, terdapat pola (pattern) yang bersifat konsisten dan berulang, yang akhirnya menjadi satu ciri khas yang selalu ada dalam syirkah mudharabah, yaitu adanya pemodal murni yang dapat didefinisikan sebagai pihak yang hanya berkontribusi modal tanpa ikut berkontribusi kerja. Pihak ini dalam istilah Bahasa Inggris disebut dengan istilah sleeping partner atau silent partner.

 

Jika kita mencermati dan menelusuri model-modal syirkah mudharabah menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani di atas, akan kita dapati bahwa pihak pemodal murni ini, selalu ada dalam keempat model/bentuk syirkah mudharabah menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani di atas.

 

Berdasarkan hal ini, maka terbukti telah terjadi pelanggaran syariah dalam syirkah yang ditanyakan di atas, yaitu syirkah antara 3 (tiga) syarīk (pesyirkah), yang terdiri dari dua orang syarīk (pihak A dan B) yang masing-masing berkontribusi modal dan kerja, dengan satu syarīk lainnya sebagai syarīk ketiga (pihak C), yang hanya berkontribusi kerja, tanpa berkontribusi modal. Letak pelanggaran syariahnya, adalah adanya syarīk ketiga ini (pihak C), yang hanya berkontribusi kerja. Adanya syarīk ketiga ini, telah membuat syirkah yang diamalkan tidak dapat dikategorikan sebagai salah satu model dari empat model Syirkah Mudharabah menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani, dan juga tidak dapat dikategorikan sebagai Syirkah ‘Inān, sebagaimana penjelasan sebelumnya di atas.

 

Kami perlu sedikit menambahkan, mengenai studi induktif (al-istiqrā`), yang telah kami amalkan terhadap model-modal syirkah mudharabah menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani, sehingga kami menyimpulkan secara umum bahwa ciri khas syirkah mudharabah menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani, adalah selalu adanya pemodal murni yang hanya berkontribusi modal tanpa ikut berkontribusi kerja.  

 

Pengertian al-istiqrā` (studi induktif) adalah sebagai berikut :

 

الإِسْتِقْرَاءُ (فِي عِلْمِ أُصُوْلِ الْفِقْهِ) هُوَ اِسْتِنْتاجُ حُكْمٍ كُلِّيٍّ مِنْ تَتَبُّعِ جُزْئِيَّاتِهِ

 

Al-Istiqrā` (dalam ilmu ushul fiqih) adalah penyimpulan hukum syara’ kulli (yang bersifat menyeluruh/general) dari penelusuran hukum-hukum syara’ parsialnya.

(https://ar.wikipedia.org/wiki/استقراء_(أصول_الفقه)

 

Al-Istiqrā` ini diamalkan oleh para ulama dalam dua hal, yaitu :

  1. Perumusan qawā’id fiqhiyyah.
  2. Perumusan qawā’id ushūliyah.

(https://feqhweb.com/vb/threads/الاستقراء-عند-الأصوليين-على-شكل-وورد.13766/ ).

 

Imam Taqiyuddin An-Nabhani sendiri telah menggunakan metode Al-Istiqrā` tersebut untuk merumuskan qā’idah (prinsip) hukum Islam secara general (kulli), setidaknya dalam 3 (tiga) masalah sebagai berikut;

 

Pertama, dalam sistem pemerintahan Islam, terdapat 4 (empat) hukum syariah kulli berdasarkan metode Al-Istiqrā`, yaitu : (1) kedaulatan di tangan syara’; (2) kekuasaan di tangan umat Islam; (3) kewajiban mengangkat satu orang khalifah; dan (4) hanya khalifah yang berhak melakukan legislasi hukum syariah menjadi Konstitusi Syariah atau Undang-Undang Syariah.

(Taqiyuddin An-Nabhani, Muqaddimah Al-Dustūr, Juz I, hlm. 109 – 110; Abdul Qadim Zallum, Nizhām Al-Hukm fī Al-Islām, hlm. 40).

 

Kedua, dalam sistem ekonomi Islam, terdapat 3 (tiga) hukum syariah kulli berdasarkan metode Al-Istiqrā`, yaitu 3 (tiga) qā’idah (dasar/prinsip) dalam sistem ekonomi Islam, yaitu;

Pertama, Kepemilikan (اَلْمِلْكِيَّةُ).

Kedua, Pengelolaan Kepemilikan (اَلتَّصَرُّفُ فِي الْمِلْكِيَّةِ).

Ketiga, Distribusi Kekayaan Kepada Masyarakat (تَوْزِيْعُ الثَّرْوَةِ بَيْنَ النَّاسِ).

(Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Nizhām al-Iqtishādi fī al-Islām, hlm. 66).

 

Ketiga, dalam ilmu ushul fiqih, terdapat 5 (lima) bagian dari Al-Qur`an dan Al-Sunnah (aqsām al-Kitāb wa Al-Sunnah), yang disimpulkan berdasarkan metode Al-Istiqrā`, yaitu :

(1) Amar dan Nahi.

(2) ‘Umūm dan Khushūsh.

(3) Mutlak dan Muqayyad.

(4) Mujmal dan Mubayyan.

(5) Nāsikh dan Mansūkh.

(Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah al-Islāmiyyah, Juz III [Ushul Al-Fiqh], hlm. 201).

 

Demikianlah contoh-contoh penggunaan metode Al-Istiqrā` yang sudah dipraktikkan oleh Imam Taqiyuddin An-Nabhani untuk merumuskan hukum syariah yang bersifat kulli (general) berdasarkan studi terhadap hukum-hukum syariah yang bersifat juz’i (parsial). Metode Al-Istiqrā` inilah yang juga kami praktikkan terhadap macam-macam model/bentuk Syirkah Mudhārabah yang dibolehkan oleh Taqiyuddin An-Nabhani. Dengan mengkajinya, kami menyimpulkan bahwa ciri khas syirkah mudharabah secara umum menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani, adalah selalu adanya pemodal murni yang hanya berkontribusi modal tanpa berkontribusi kerja.  

 

Kesimpulannya, syirkah yang ditanyakan dalam kasus ini, terbukti tidak sesuai dengan model Syirkah ‘Inān dan Syirkah Mudhārabah yang dibolehkan syara’, sesuai pendapat Imam Taqiyuddin An-Nabhani, rahimahullāh, dalam kitabnya Al-Nizhām al-Iqtishādi fī al-Islām, yang ciri khasnya (untuk Syirkah Mudhārabah) secara umum adalah adanya pemodal murni yang hanya berkontribusi modal tanpa berkontribusi kerja. Pemodal murni ini tidak ditemukan dalam syirkah mudharabah yang ditanyakan.

 

Kami menegaskan, status syirkah yang diamalkan dalam kasus ini statusnya adalah batil, karena cacat hukumnya terjadi pada rukun akad pertama dari tiga rukun akad muamalah (arkān al-‘aqad), yaitu dua pihak yang berakad (al-‘āqidāni) dalam akad syirkah.

 

Inilah pendapat yang rājih menurut kami. Di sini kami katakan “pendapat yang rājih”, maksudnya adalah dalam masalah ini memang ada khilāfiyah, dan kami tahu ada pendapat lain yang berbeda dengan pendapat kami, namun kami menganggap pendapat tersebut marjūh (pendapat yang lemah secara tarjih), meskipun kami tetap menghormati pendapat lain tersebut, dan mengakui bahwa pendapat lain tersebut masih merupakan pendapat yang Islami (al-ra`yu al-Islāmī).

 

Jika Syirkah Ini Dilaksanakan Karena Ketidaktahuan Hukum Syara’, Bagaimanakah Solusinya dalam Islam?

Meskipun kami berpendapat syirkah yang diamalkan dalam kasus ini telah menyalahi syara’, dengan status batil, namun dapat dimaafkan karena terdapat udzur syar’i berupa ketidaktahuan hukum syariah pada para pesyirkah dan orang-orang lain yang semisal dengan para pesyirkah itu.

 

Maka dari itu, meskipun hakikatnya terdapat cacat hukum yang fatal/berat pada syirkah yang diamalkan, tapi karena ketidaktahuan hukum yang merata di antara para pesyirkah, akadnya dapat dianggap sah. Dengan demikian, akibat-akibat hukum dari cacat hukum tersebut, dianggap tidak ada, karena syariah telah memberi udzur syar’i berupa ketidaktahuan hukum syariah bagi seseorang dan orang-orang yang semisal dengan seseorang itu. Pada saat para pesyirkah memulai syirkah mereka pada saat mereka belum terlalu paham hukum-hukum tentang syirkah secara mendetail, khususnya mengenai berbagai model/bentuk syirkah, baik Syirkah ‘Inan maupun Syirkah Mudharabah.

 

Hanya saja, setelah para pesyirkah mengetahui hukumnya saat ini, baik dengan belajar sendiri maupun dengan belajar dari guru (musyrif), maka ke depan untuk masa yang akan datang, pelanggaran syariah yang serupa tidak boleh lagi diulangi dan wajib hukumnya terikat dengan hukum syara’ yang sudah diketahui.

 

Inilah solusi Islam untuk kasus ini, yaitu syirkah yang sudah berlalu yang sebenarnya batil, dihukumi sah, karena ketidaktahuan hukum syara’ yang merata di antara para pelakunya. Namun untuk masa depan, pelanggaran syariah serupa tidak boleh lagi dilakukan oleh mereka.

 

Imam Taqiyuddin An-Nabhani telah menjelaskan seputar ketidaktahuan hukum syara’ dan kaitannya dengan akad muamalah yang sebenarnya berstatus batil, sebagai berikut :

 

إِلَّا أَنَّهُ إِذَا كَانَ الْحُكْمُ مِمَّا يُجْهَلُ مِثْلُهُ عَلَى مِثْلِ الْفَاعِلِ، فَلَا يُؤَاخَذُ فِي الْفِعْلِ، وَيَكُوْنُ عَمَلُهُ صَحِيْحًا، وَلَوْ كَانَ حُكْمُ الشَّرْعِ فِيْهِ أَنَّهُ بَاطِلٌ

 

“Hanya saja, jika hukum syara’ yang ada termasuk ke dalam hukum syara’ yang tidak diketahui oleh orang yang semisal dengan pelaku (pelaku akad yang batil), maka tidak dapat dijatuhkan sanksi syariah pada perbuatan tersebut, dan perbuatannya sah meskipun hukum syara’ pada perbuatan itu sebenarnya adalah batil (tidak sah).” (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Nizhām al-Iqtishādi fī al-Islām, hlm. 177, Bab As-ham al-Syirkah al-Musāhamah).

 

Imam Taqiyuddin An-Nabhani selanjutnya menjelaskan dalil syar’i untuk adanya udzur syar’i berupa ketidaktahuan hukum syariah tersebut, yaitu ketidaktahuan hukum bagi seseorang dan orang-orang lain yang semisal dengan orang tersebut. Di dalam sebuah hadits yang shahīh dalam Shahīh Muslim, diriwayatkan bahwa seorang shahabat bernama Mu’āwiyah bil Al-Hakam Al-Sulamī RA pernah sholat berjamaah bersama Rasulullah SAW. Kemudian saat sholat jamaah berlangsung, ada seseorang yang bersin, dan kontan Mu’āwiyah bil Al-Hakam Al-Sulamī RA mengucapkan doa untuk orang yang bersin (“Yarhamukallāh”). Setelah selesai sholat berjamaah, Rasulullah SAW kemudian bersabda :

 

إِنَّ هَذِهِ الصَّلَاةَ لَا يَصْلُحُ فِيهَا شَيْءٌ مِنْ كَلَامِ النَّاسِ، إِنَّمَا هُوَ التَّسْبِيحُ وَالتَّكْبِيرُ وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ

 

“Sesungguhnya sholat ini tidaklah layak di dalamnya ada sesuatu dari ucapan manusia. Sesungguhnya yang ada dalam sholat itu hanyalah ucapan tasbīh, takbīr, dan bacaan Al-Qur`an.”

 

Setelah mendengar sabda Rasulullah SAW tersebut, Mu’āwiyah bil Al-Hakam Al-Sulamī RA menjawab :

 

يَا رَسُولُ اللَّهِ، إِنِّي حَدِيثُ عَهْدٍ بِجَاهِلِيَّةَ، وَقَدْ جَاءَ اللَّهُ بِالْإِسْلَامِ

 

“Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku adalah orang yang baru saja masuk Islam (belum lama lepas dari kejahiliyahan). Dan alhamdulillah Allah telah membawa Islam (kepada kami)…( Mu’āwiyah bil Al-Hakam Al-Sulamī RA lalu menceritakan kepada Rasulullah SAW bahwa ada pula sebagian kaumnya yang sudah masuk Islam, tetapi masih mendatangi dukun peramal (kāhin), ada juga yang masih ber-tathayyur (menimpakan kesialan pada burung), dsb.” (HR. Muslim, no. 357; dari Mu’āwiyah bil Al-Hakam Al-Sulamī RA).

 

Imam Imam Taqiyuddin An-Nabhani menjelaskan hadits di atas dengan berkata :

 

هَذَا الْحُكْمُ الشَّرْعِيُّ وَهُوَ كَوْنُ الْكَلَامِ يُبْطِلُ الصَّلَاةَ، كَانَ مِمَّا يُجْهَلُ عَادَةً لِمِثْلِ ذَلِكَ الشَّخْصِ، فَعَذَرَهُ الرَّسُولُ فِيهِ، وَاعْتَبَرَ صَلَاتَهُ صَحِيحَةً... فَإِنَّ صَلَاةَ مُعَاوِيَةَ بْنِ الْحَكَمِ صَلَاةٌ صَحِيحَةٌ مَعَ أَنَّهُ عَمِلَ فِيهَا مَا يُبْطِلُ الصَّلَاةَ، وَلَكِنَّهُ كَانَ يَجْهَلُ أَنَّ الْكَلَامَ يُبْطِلُ الصَّلَاةَ.

 

“Hukum syara’ ini, yakni bahwa ucapan manusia itu membatalkan sholat, termasuk hukum yang pada umumnya tidak diketahui oleh orang yang semisal dengan orang itu (Mu’āwiyah bil Al-Hakam Al-Sulamī RA), maka kemudian Rasulullah SAW memberikan udzur kepadanya, dan menganggap sholatnya sah…Jadi sesungguhnya sholatnya Mu’āwiyah bil Al-Hakam Al-Sulamī RA itu sholat yang sah, meskipun dia telah melakukan sesuatu yang membatalkan sholat, tetapi saat itu dia tidak tahu ucapan manusia dapat membatalkan sholat.”  (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Nizhām al-Iqtishādi fī al-Islām, hlm. 177, Bab As-ham al-Syirkah al-Musāhamah).

 

Berdasarkan penjelasan di atas, syirkah yang diamalkan dalam kasus ini sebenarnya berstatus batil, namun dapat dimaafkan karena terdapat udzur syar’i berupa ketidaktahuan hukum syariah yang merata pada para pesyirkah pada saat mereka mulai bersyirkah pada masa-masa mereka belum mengetahui hukum-hukum syirkah secara mendalam.

 

Kesimpulan

Seorang muslim yang hendak melaksanakan bisnis dengan mengamalkan syirkah Islami, wajib hukumnya mempelajari hukum-hukum syirkah Islami secara mendalam dan detail, tidak cukup hanya berbekal dengan pengetahuan mengenai syirkah Islami yang sifatnya hanya berupa garis-garis besar atau pengetahuan yang levelnya masih elementer (basic) saja.

 

Islam memberi rukhsah (keringanan) berupa udzur syar’i bagi muslim yang melakukan pelanggaran syariah, disebabkan oleh ketidaktahuan hukum syara’ yang merata pada orang-orang di sekitar muslim itu. Misalnya, yang tidak tahu hukum syirkah bukan hanya muslim itu, tetapi juga temannya, keluarganya, tetangganya, koleganya dan sebagainya. Tetapi jika semua teman, keluarga, atau kolega muslim itu sudah tahu hukumnya, sedang muslim itu sendiri yang tidak tahu, berarti muslim itu tidak mendapat permaafan berupa udzur syar’i ketidaktahuan hukum syara’. Wallāhu a’lam. 

 

Yogyakarta, 23 Mei 2025

 

Muhammad Shiddiq Al-Jawi

 

Disclaimer dari Penulis : Artikel ini adalah perluasan atau pengembangan dari artikel penulis sebelumnya yang berjudul Syirkahnya Tiga Orang, Dua Orang Berkontribusi Modal Dan Kerja, Satu Orang Hanya Berkontribusi Kerja.

https://fissilmi-kaffah.com/frontend/artikel/detail_tanyajawab/689


Artikel Lainnya





Bagi para pembaca yang ingin menanyakan masalah Agama kepada KH. M. Shiddiq Al Jawi, silakan isi form pertanyaan di bawah ini. KH. M. Shiddiq Al Jawi insya Allah akan berusaha menjawab pertanyaan dari para pembaca melalui email.