Diasuh Oleh: Ust M Shiddiq Al Jawi Tanya : Ustadz, apakah DP pada pembelian dengan uang muka itu boleh hangus? Kasusnya, padi yang sudah layak dipanen kurang 2 minggu biasanya sudah ada transaksi dengan cara menaksir, lalu diikat dengan DP, dan baru dibayar kontan setelah dipanen. Pembeli yang datang di luar batas waktun panen dianggap batal (DP hangus), sebab petani bisa gagal panen kalau panen terlambat. (Baedhowi, Ngawi) Jawab : Dari pertanyaan di atas nampaknya terdapat 2 (dua) permasalahan, yaitu; pertama, hukum menjual padi yang belum dipanen (masih di sawah). Kedua, hukum menjualbelikan padi tersebut dengan uang muka (DP, down payment). Mengenai menjual padi yang belum dipanen, hukumnya boleh jika padinya sudah mencapai umur tertentu sehingga layak dimakan. Jika padinya belum mencapai umur yang layak dimakan, hukumnya haram. (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, Juz II, hlm. 297). Dari segi fakta, padi varietas lokal misalnya Rajalele, umumnya berumur dalam, yaitu lebih dari 151 hari setelah sebar (HSS). Sedang padi varietas unggul, misalnya IR-64, padinya berumur genjah, yaitu kisaran 105-124 HSS. Jadi, kalau seorang petani menanam padi Rajalele, lalu menjual padinya yang baru berumur 60 hari, hukumnya haram. Adapun kalau dia menjual padinya ketika sudah berumur 150 hari, yakni ketika padinya sudah dapat dimakan, hukumnya boleh. Dalilnya hadits-hadits yang melarang menjualbelikan buah yang masih ada di pohonnya hingga buah itu sudah matang. Dari Jabir bin Abdillah RA, dia berkata,”Nabi SAW telah melarang menjual buah-buahan (yang masih ada di pohonnya) hingga nampak kematangannya.” (HR Bukhari, no. 1416). (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, Juz II, hlm. 298). Berdasarkan ini, maka padi yang disebutkan “sudah layak dipanen kurang 2 minggu” dalam pertanyaan, hukumnya boleh dijualbelikan jika sudah layak dimakan. Adapun hukum menjualbelikan padi tersebut dengan uang muka (DP), hukumnya boleh. Dan boleh pula DP yang sudah dibayarkan itu hangus, asalkan sudah disepakati dalam akad di awal antara penjual dan pembeli. Uang muka dalam bahasa Arab disebut ‘urbuun, yaitu sebagian harga yang dibayarkan oleh pembeli kepada penjual, dengan ketentuan jika pembeli mengambil barang maka apa yang dibayarkan itu dihitung sebagai bagian dari harga, dan jika pembeli membatalkan pembelian maka apa yang dibayarkan itu menjadi hak penjual. (Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughah Al Fuqaha`, hlm. 85). Memang ada perbedaan pendapat (khilafiyah) di kalangan fuqoha mengenai hukum ‘urbuun (DP) ini. Jumhur ulama, yaitu fuqoha Hanafiyah, Syafi’iyyah, dan Malikiyah mengharamkan. Sedangkan fuqoha Hanabilah membolehkannya. Pendapat yang rajih (lebih kuat dalilnya) menurut kami adalah pendapat fuqoha Hanabilah yang telah membolehkannya, sebagaimana pentarjihan Syekh Rafiq Yunus Al Mashri, Syekh Wahbah Zuhaili, dan Syekh Ziyad Ghazal. (Rafiq Yunus Al Mashri, Bai’ Al ‘Urbuun, hlm. 43; Wahbah Az Zuhaili, Bai’ Al ‘Urbuun, hlm. 9; Ziyad Ghazal, Masyru` Qanun Al Buyu’, hlm. 113-114). Hanya saja, penjual dan pembeli wajib menetapkan jangka waktu tertentu (al muddah al muhaddadah) sebagai waktu tunggu bagi pembeli untuk mengambil keputusan, apakah jual belinya diteruskan atau dibatalkan. (Ziyad Ghazal, Masyru` Qanun Al Buyu’, hlm. 113). Wallahu a’lam.
Bagi para pembaca yang ingin menanyakan masalah Agama kepada KH. M. Shiddiq Al Jawi, silakan isi form pertanyaan di bawah ini. KH. M. Shiddiq Al Jawi insya Allah akan berusaha menjawab pertanyaan dari para pembaca melalui email.