HUKUM FEE BAGI PERANTARA INVESTASI


 

Diasuh Oleh: Ust M Shiddiq Al Jawi

 

Tanya :

Ustadz, mohon diterangkan bagaimana hukum fee bagi perantara investasi. Faktanya, seorang perantara bekerja mempertemukan seorang pemodal (shahibul maal) dengan pengelola modal (mudharib) yang akan melakukan akad syirkah. Kemudian pemodal memberikan fee kepada perantara sebesar 5% dari nilai modal. Bolehkah fee tersebut menurut syariah? (Eri Taufik, Bandung)

 

Jawab :

            Cara penetapan fee berupa persentase dari nilai modal seperti kasus yang ditanyakan di atas hukumnya tidak sah menurut syariah, karena bertentangan dengan cara penetapan fee yang dibolehkan syariah pada kasus tersebut, yaitu berupa jumlah nominal uang yang tetap.

 

      Menurut kami, akad perantara dalam kasus di atas adalah akad ijaarah, tepatnya ijaarah al ajiir (mempekerjakan pekerja dengan upah), bukan akad samsarah (perantaraan dalam jual beli). Ijaarah sendiri adalah akad atas manfaat dengan imbalan (‘aqdun ‘ala al manfa’ah bi-‘iwadh). Sedangkan ijaarah al ajiir adalah akad ijaarah untuk mendapat manfaat dari seorang pekerja (ajiir) dengan memberi imbalan kepadanya. (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam, hlm. 84).

 

Dalam hukum ijaarah al ajiir, penetapan upah (ujrah) bagi pekerja tidak boleh dalam bentuk persentase (nisbah mi`awiyyah) tertentu, misal 5% dari apa yang dihasilkan dari suatu pekerjaan, karena penetapan seperti ini mengandung unsur ketidakjelasan (al jahaalah).

 

Jadi penetapan upah dalam akad ijaarah wajib dalam bentuk jumlah nominal yang tertentu, misal Rp 5 juta per bulan, dsb, agar terwujud kejelasan (al ma’luumiyyah) yang dituntut oleh syara’, sesuai sabda Rasulullah SAW,”Jika salah seorang dari kamu mempekerjakan seorang pekerja, maka hendaklah dia memberitahukan kepadanya upahnya.” (idza ‘stajara ahadukum ajiiran fal-yu’limhu ajrahu). (HR Daraquthni). (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam, hlm. 90).

 

Imam Taqiyuddin An Nabhani menjelaskan hadis di atas dengan berkata,”Apa saja yang boleh menjadi harga (tsaman), boleh menjadi imbalan (‘iwadh), dengan syarat diketahui dengan jelas jumlahnya (ma’luum). Adapun jika imbalannya tidak jelas (majhuul), maka hukumnya tidak sah. Kalau seorang buruh tani memanen dengan upah berupa sejumlah tertentu dari panen [misal setengah atau sepertiga dari hasil panen], maka hukumnya tidak sah karena mengandung unsur ketidakjelasan (al jahaalah).”  (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam, hlm. 90).

 

Pada kasus yang ditanyakan, akad antara perantara dengan pemodal bukanlah samsarah yang membolehkan fee berupa persentase tertentu (nisbah mi’awiyyah). Karena pekerjaan sebagai perantara investasi tidak sesuai dengan definisi samsarah itu sendiri. Syaikh Rawwas Qal’ah Jie mendefinisikan samsarah (brokerage) sebagai suatu profesi dimana pelakunya menjadi perantara antara penjual dan pembeli (as samsarah hiya hirfatun yakuunu muhtarifuhaa  al waasithah bayna al baa`i’ wa al musytari). (Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughat Al Fuqaha`, hlm. 191).

 

Dari definisi tersebut, jelaslah samsarah adalah perantara untuk akad jual beli. Dalam hukum samsarah, memang penetapan fee untuk perantara dibolehkan dalam bentuk persentase (nisbah mi`awiyyah) tertentu, misal 5% dari harga barang. (Yusuf Al Qaradhawi, Al Halal wa Al Haram fi Al Islam, hlm. 226).

 

Namun faktanya, perantara pada kasus di atas bukanlah perantara dalam akad jual beli, melainkan perantara dalam akad syirkah antara pemodal (shahibul maal) dengan pengelola modal (mudharib). Implikasinya, hukum yang diterapkan untuk kasus itu bukan hukum samsarah yang membolehkan fee berupa persentase, melainkan hukum ijaarah yang mewajibkan penetapan fee secara nominal. Wallahu a’lam.


Artikel Lainnya





Bagi para pembaca yang ingin menanyakan masalah Agama kepada KH. M. Shiddiq Al Jawi, silakan isi form pertanyaan di bawah ini. KH. M. Shiddiq Al Jawi insya Allah akan berusaha menjawab pertanyaan dari para pembaca melalui email.