Diasuh Oleh: Ust M Shiddiq Al Jawi Tanya : Ustadz, apa hukumnya mengawetkan mayat? Misalnya, mengawetkan mayat dengan cara dibalsem, atau dimasukkan dalam cold storage? Jawab : Pengawetan mayat dalam kitab-kitab fiqih disebut tahniith. Menurut makna bahasa, tahniith artinya meletakkan harum-haruman pada jenazah. Sedang menurut istilah, tahniith artinya menjaga bentuk mayat dengan menggunakan zat-zat kimiawi tertentu untuk mencegah kerusakan atau kebusukan. (Al Mausu’ah Al Muyassarah Al ‘Arabiyyah, 2/681; Ruqyah As’ad Shaleh ‘Arar, Ahkam At Tasharruf bi Al Jutstsah fi Al Fiqh Al Islami, hlm 117). Metode kuno pengawetan mayat dilakukan dengan membedah mayat untuk mengeluarkan organ-organ dalamnya (jantung, paru-paru, usus, dll), lalu mengoleskan balsem pengawet. Metode yang lebih modern dengan menyuntikkan zat-zat kimia tertentu ke dalam tubuh mayat untuk mencegah pembusukan organ dalam. Metode paling mutakhir dengan meletakkan mayat dalam cold storage (kulkas pendingin mayat) pada suhu minus 20 derajat Celcius. (Ruqyah As’ad Shaleh ‘Arar, ibid., hlm 117). Tujuan pengawetan mayat kadang untuk menghormati para raja, seperti pada bangsa Mesir kuno. Atau untuk dipamerkan kepada publik sebagai tokoh atau pahlawan negara. Atau sekedar untuk memindahkan mayat itu dari satu tempat ke tempat lain untuk dimakamkan. Demikian sekilas fakta (manath) pengawetan mayat. (Ruqyah As’ad Shaleh ‘Arar, ibid., hlm 118). Bagaimana hukumnya menurut Syariah Islam? Hukumnya boleh (ja`iz), selama memenuhi dua syarat, yaitu : (1) metodenya dibenarkan syariah, dan (2) tujuannya sesuai syariah Islam. (Ruqyah As’ad Shaleh ‘Arar, ibid., hlm 118; Fatawa Al Azhar, 8/46). Bolehnya pengawetan mayat itu sendiri diisyaratkan oleh hadits-hadits shahih mengenai pengharuman mayat (tajammur/tahniith al mayyit). Dari Jabir RA, Rasulullah SAW bersabda,”Jika kamu hendak mengharumkan mayat, maka harumkanlah dia sebanyak tiga kali (idzaa jammartum al mayyita fa-ajmiruuhu tsalaatsan). (HR Ahmad, Ibnu Hibban, Al Hakim, Al Baihaqi). (Nashiruddin Al Albani, Ahkamul Jana`iz, hlm. 84; Sa’id Al Qahthani, Ahkamul Jana`iz, hlm. 235). Dari Ibnu Abbas RA, Nabi SAW bersabda mengenai seseorang yang meninggal saat ihram karena terjatuh dari untanya,”Mandikanlah dia dengan air dan daun pohon bidara (sidr), kafanilah dia dengan dua baju ihramnya, tapi janganlah kalian beri dia harum-haruman (wa laa tuhannithuuhu) dan janganlah kalian tutupi kepalanya, karena dia akan dibangkitkan pada Hari Kiamat dalam keadaan membaca talbiyyah (bacaan : Labbaika dst...).” (HR Bukhari). (Imam Shan’ani, Subulus Salam, 2/92; Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 742). Kedua hadits ini menunjukkan bolehnya pengawetan mayat, karena pemberian harum-haruman pada kafan atau tubuh mayat dapat mengurangi bau busuk, sesuatu yang merupakan tujuan pengawetan mayat. (Fatawa Al Azhar, 8/46). Hanya saja, kebolehan pengawetan mayat harus memenuhi dua syarat sbb; Pertama, metodenya dibenarkan syariah, yakni tak melanggar kehormatan mayat. Dalilnya sabda Nabi SAW,”Memecahkan tulang mayat sama dengan memecahkan tulangnya saat dia hidup.” (HR Abu Dawud & Ahmad). Jadi tak boleh mengawetkan mayat dengan membedah tubuhnya untuk mengeluarkan organ-organ dalamnya. Mengenai metode menyuntikkan zat-zat kimiawi tertentu ke dalam tubuh mayat, hukumnya boleh asalkan ada hajat (kebutuhan) yang syar’i, misalnya sekedar untuk memindahkan mayat ke tempat yang jauh untuk dimakamkan. Kaidah fiqih menetapkan : al hajah tanzilu manzilah al dharurah. (adanya hajat dapat berkedudukan seperti darurat). Metode yang paling sesuai syariah adalah menyimpan mayat dalam cold storage. (Ruqyah As’ad Shaleh ‘Arar, ibid., hlm 118). Kedua, tujuannya dibenarkan syariah, sesuai kaidah fiqih : al wasa`il tattabi’ al maqashid fi ahkamiha. (Segala perantaraan hukumnya mengikuti tujuannya). (M. Shidqi Al Burnu, Mausu’ah Al Qawa’id Al Fiqhiyyah, 12/199). Jadi boleh mengawetkan mayat agar dapat dipindahkan ke tempat yang jauh dengan tujuan untuk dimakamkan. Tapi tidak dibolehkan kalau tujuannya untuk dipamerkan kepada publik, dsb. (Ruqyah As’ad Shaleh ‘Arar, ibid., hlm 118). Wallahu a’lam.
Bagi para pembaca yang ingin menanyakan masalah Agama kepada KH. M. Shiddiq Al Jawi, silakan isi form pertanyaan di bawah ini. KH. M. Shiddiq Al Jawi insya Allah akan berusaha menjawab pertanyaan dari para pembaca melalui email.