STATUS HUKUM HARTA HASIL PENJARAHAN


 

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi

 

TANYA :

Assalamualaikum. Kyai, sekarang ini terjadi penjarahan secara terbuka oleh masyarakat kepada anggota DPR yang tidak bisa menjaga etikanya hingga menyulut kemarahan masyarakat. Dari video-video yang beredar tampak tidak bersisa lagi barang-barangnya, semua diangkut masyarakat.  Hanya tersisa tangga dan bangunan itupun karena tidak bisa diangkat. Mobil-mobil mewah seharga ratusan miliar semua dirusak. Bagaimana hukumnya barang-barang yang diambil masyarakat ini ? Apakah halal bagi mereka dengan dalih eksekusi perampasan aset pejabat oleh rakyat? (Malayati, Bandung).

 

JAWAB :

Wa ‘alaikumus alam wr wb.

 

Definisi Penjarahan

Penjarahan dalam Bahasa Inggris disebut looting, sedang dalam Bahasa Arab disebut Al-Nahbu (اَلنَّهْبُ), yang artinya :

 

النَّهْبُ هُوَ أَخْذُ الْمَالِ مُغَالَبَةً

 

“Penjarahan adalah mengambil harta yang disebabkan oleh pertengkaran/perselisihan (mughālabah).” (Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughat Al-Fuqahā`, hlm. 459).

 

Barang hasil jarahan disebut dengan Al-Nuhbah (اَلنُّهْبَةُ). Sedang orang yang melakukan perbuatan penjarahan disebut dengan Al-Muntahib (اَلْمُنْتَهِبُ). (Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughat Al-Fuqahā`, hlm. 459).

 

Definisi lain yang lebih menggambarkan “penjarahan” yang biasanya dilakukan secara massal (oleh banyak orang), adalah definisi sbb :

 

النَّهْبُ هُوَ أَخْذُ الْمَالِ مُغَالَبَةً وَالنَّاسُ يَنْظُرُونَ

 

“Penjarahan adalah mengambil harta yang disebabkan oleh pertengkaran/perselisihan (mughālabah) sedang orang-orang menyaksikannya.” (Syekh Muhammad bin Ibrahim Al-Tuwaijiri, Mausū’ah Al-Fiqh Al-Islāmī, 5/153).

 

Definisi “penjarahan” (al-nahbu) yang cukup komprehensif terdapat dalam kitab Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah sbb :

 

النَّهْبُ هُوَ أَخْذُ الْمَالِ بِالْقَهْرِ وَالْغَلَبَةِ عَلَى وَجْهِ الْعَلَانِيَةِ

 

“Penjarahan adalah mengambil harta yang dilakukan dengan paksaan dan dominasi secara terang-terangan (di muka publik).” (Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 41/378).

 

Dari berbagai definisi “penjarahan” (al-nahbu) di atas, dapat diambil kesimpulan secara umum, bahwa terdapat 4 (empat) unsur perbuatan yang disebut “penjarahan” dalam Fiqih Islam;

Pertama, ada perbuatan pengambilan harta (akhdzul māl) milik orang lain.

Kedua, pengambilan harta tersebut dilakukan dengan paksaan dan dominasi (al-qahru wal ghalabah), yakni tanpa ada kerelaan (ridho) dari pemilik harta.

Ketiga, pengambil harta bukan perorangan melainkan orang banyak (wan nās yanzhurun).

Keempat, pengambilan harta dilakukan secara terang-terangan atau di muka publik (ala wajhil ‘alāniyyah).

 

Hukum Penjarahan

Hukum melakukan penjarahan (al-nahbu) adalah haram tanpa ada keraguan lagi, karena termasuk ke dalam larangan umum dalam Al-Qur`ān dan Al-Hadits untuk memakan harta orang lain secara batil. (Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 41/380-381). Firman Allah SWT :

 

يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا لَا تَاۡكُلُوۡۤا اَمۡوَالَـكُمۡ بَيۡنَكُمۡ بِالۡبَاطِلِ اِلَّاۤ اَنۡ تَكُوۡنَ تِجَارَةً عَنۡ تَرَاضٍ مِّنۡكُم​

 

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak sesuai syariah), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu.” (QS. Al-Nisa` : 29)

 

Firman Allah SWT :

 

وَلَا تَاۡكُلُوۡٓا اَمۡوَالَـكُمۡ بَيۡنَكُمۡ بِالۡبَاطِلِ وَتُدۡلُوۡا بِهَآ اِلَى الۡحُـکَّامِ لِتَاۡکُلُوۡا فَرِيۡقًا مِّنۡ اَمۡوَالِ النَّاسِ بِالۡاِثۡمِ وَاَنۡـتُمۡ تَعۡلَمُوۡنَ

 

“Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah : 188).

 

Dalam Al-Hadits, Rasulullah SAW bersabda :

 

«إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأمْوَالَكُمْ وَأعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ، كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا، فِي بَلَدِكُمْ هَذَا، فِي شَهْرِكُمْ هَذَا». متفق عليه

 

“Sesungguhnya darah-darahmu, harta-hartamu, dan kehormatan-kehormatanmu adalah suci bagimu, sama sucinya dengan harimu ini, di negerimu ini, di bulanmu ini.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

 

Rasulullah SAW juga bersabda :

 

«…وَلا يَنْتَهِبُ نُهْبَةً يَرْفَعُ النَّاسُ إِلَيْهِ فِيهَا أبْصَارَهُمْ حِينَ يَنْتَهِبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ». متفق عليه

 

“Dan tidaklah seseorang itu menjarah suatu harta jarahan yang membuat orang-orang memandangnya ketika dia menjarahnya, sedangkan dia adalah orang yang beriman (dengan sempurna).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

 

Berdasarkan dalil-dalil di atas, jelaslah secara hukum taklifi, hukum asal penjarahan (al-nahbu) hukumnya haram. (Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 41/380).

 

Fatwa Untuk Penjarahan

Bagaimanakah hukum syara’ terhadap fakta penjarahan yang terjadi beberapa waktu yang lalu di Indonesia (30-31 Agustus 2025 di Jakarta), di rumah Sahroni, Eko Patrio, Uya Kuya, dan Sri Mulyani?

 

Jawab :

Hukum penjarahan yang dilakukan masyarakat tersebut, jelas haram dan para pelakunya berdosa kepada Allah SWT, walaupun mereka mempunyai dalih bahwa tindakan itu adalah eksekusi perampasan aset pejabat oleh rakyat. Dalih tersebut tidak dapat dibenarkan dalam Islam karena tidak ada dasarnya dalam Al-Qur`an dan Al-Hadits. Bahkan faktanya, yang terjadi bukan hanya penjarahan, melainkan juga perusakan harta (itlāf al-māl), seperti perusakan mobil atau aset-aset lainnya milik orang-orang yang dijarah tersebut.

 

Maka dari itu, berlaku kepada para perusak harta tersebut kaidah Hukum Islam yang berbunyi :


مَنْ أَتْلَفَ مَالَ غَيْرِهِ عَمْدًا أَوْ خَطَأً فَهُوَ ضامِنٌ وَغارِمٌ

 

Man atlafa māla ghairihi ‘amdan au khatha`an fahuwa dhāmin wa ghārim. Artinya,”Barangsiapa yang merusak harta milik orang lain, baik secara sengaja maupun tidak sengaja, maka dia bertanggung jawab dan berutang (wajib memberikan pengganti dengan barang yang semisal atau uang yang senilai).” (Muhammad Shidqī Al-Burnū, Mausū’ah Al-Qawā’id Al-Fiqhiyyah, 10/788)

 

Status harta hasil penjarahan, merupakan harta haram, yang hukumnya haram untuk di-tasharruf-kan dalam segala bentuknya, misalnya : dijualbelikan, dihadiahkan, dishadaqahkan, dsb, atau dimanfaatkan sendiri oleh penjarah.

 

Sabda Rasulullah SAW :

 

مَنْ اشْتَرَى سَرِقَةً، وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهَا سَرِقَةٌ، فَقَدْ شَارَكَ فِي عَارِهَا وَإِثْمِهَا

 

“Barangsiapa membeli suatu harta curian, padahal ia mengetahui bahwa itu adalah harta curian, maka ia turut menanggung aib dan dosanya.” (HR. Al-Hakim dan Al-Baihaqi).

 

Hadits tersebut telah mengharamkan jual beli harta curian, yang dilakukan secara diam-diam, maka jual beli harta jarahan yang dilakukan secara terang-terangan, lebih haram lagi, menurut mafhūm muwāfaqah (menarik makna implisit yang lebih besar kadarnya dari makna eksplisitnya).

 

Sabda Rasulullah SAW :

 

مَنْ جَمَعَ مَالًا حَرَامًا ثُمَّ تَصَدَّقَ بِهِ لَمْ يَكُنْ لَهُ فِيهِ أَجْرٌ، وَكَانَ إِصْرُهُ عَلَيْهِ

 

“Barangsiapa mengumpulkan harta haram lalu bersedekah dengan harta itu, maka ia tidak mendapat pahala sedikitpun, dan dia bahkan mendapatkan dosanya.” (HR. Ibnu Hibban, Al-Hakim, Al-Baihaqi, dan Ibnu Khuzaimah).

 

Dikecualikan dari harta haram hasil jarahan tersebut, beberapa harta yang statusnya menjadi harta halal, karena sudah diikhlaskan (direlakan) oleh pemiliknya. Misalnya Uya Kuya yang berkata,”Saya ikhlaskan, kecuali kucing-kucing saya.” Misalnya juga kata Sahroni,”Silakan ambil tas wadah flashdisk saya, tapi flashdisk-nya tolong kembalikan.”

 

Sabda Rasulullah SAW :

 

أَلَا لَا تَظْلِمُوْا أَلَا لَا يَحِلُّ مَالُ امْرِىءٍ إِلَّا بِطِيْبِ نَفْسٍ مِنْهُ

 

“Perhatikanlah, janganlah kalian berbuat zalim. Perhatikanlah, tidaklah halal harta milik seseorang, kecuali atas dasar kerelaan dari pemiliknya.” (HR. Ahmad dan Al-Darimi)

 

Bagi para penjarah yang mengambil harta jarahan, wajib hukumnya mengembalikan harta hasil jarahannya kepada pemiliknya, atau setidaknya kalau harta jarahan itu sudah terlanjur dimanfaatkan atau dijual, dia wajib meminta penghalalan, atau pengikhlasan, dari pemiliknya. Jika ini tidak dilakukan, Allah SWT akan menegakkan perhitungan dengan cara-Nya tersendiri pada Hari Kiamat kelak. Sabda Rasulullah SAW :

 

مَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ مَظْلِمَةٌ لأَِخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ مِنْ شَيْءٍ فَلْيتَحَلَّلْهُ ِمِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَلَّا يَكُوْنَ دِيْنَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ، إنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلِمَتِهِ، وإنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ، فَحُمِلَ عَلَيْه. رواه البخاري و أحمد وابن حبان

 

”Barangsiapa yang telah berbuat zalim kepada saudaranya, yang berkaitan dengan kehormatan atau sesuatu apa pun, hendaklah dia meminta penghalalan dari saudaranya itu pada hari ini, sebelum (datang Hari Kiamat) yang tidak ada lagi dinar atau pun dirham. Jika dia memiliki amal shalih, maka akan diambil darinya (pahala amal shalihnya) sesuai kadar kezalimannya. Jika dia tidak lagi memiliki (pahala-pahala) kebaikan-kebaikan, maka akan diambil dosa-dosa orang yang dizalimi lalu ditimpakan kepadanya.” (HR. Al-Bukhari, Ahmad, dan Ibnu Hibban). Wallāhu a’lam.

 

Yogyakarta, 5 September 2025

 

Muhammad Shiddiq Al-Jawi


Artikel Lainnya





Bagi para pembaca yang ingin menanyakan masalah Agama kepada KH. M. Shiddiq Al Jawi, silakan isi form pertanyaan di bawah ini. KH. M. Shiddiq Al Jawi insya Allah akan berusaha menjawab pertanyaan dari para pembaca melalui email.