HUKUM MEMISAHKAN PELANGGAN PRIA DAN WANITA DI KAFE


 

Diasuh Oleh: Ust M Shiddiq Al Jawi

  

Tanya :

Ustadz, saya punya usaha kuliner yaitu kafe. Apakah harus ada pemisahan antara tamu laki-laki dan wanita di kafe saya? Apakah selaku pemilik kafe saya berdosa jika membiarkan pelanggan saya berikhtilat (campur baur antara pria dan wanita)? (Firli, Sleman).

 

Jawab :

            Hukum asal pemisahan (infishal) antara pria dan wanita adalah wajib, baik dalam kehidupan khusus (al hayaat al ‘aamah) seperti di rumah, kos-kosan, dsb; maupun dalam kehidupan umum (al hayaat al khaashah) seperti di jalan raya, pasar, kendaraan umum, dsb. Kewajiban pemisahan pria dan wanita ini didasarkan pada hukum syariah yang berlaku umum yang mewajibkan pemisahan pria dan wanita.

 

Hukum umum ini berlaku untuk segala macam kegiatan dan tempat, seperti menghadiri pengajian di sebuah masjid atau gedung, melakukan kegiatan aksi damai (masirah), shalat berjamaah di masjid, belajar di sekolah, berolah raga di lapangan, rapat di kantor, rapat perusahaan, dan sebagainya. (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam, hlm. 36).

 

Kewajiban pemisahan pria dan wanita tersebut didasarkan pada sejumlah dalil syariah, di antaranya:

Pertama, Rasulullah SAW telah memisahkan jamaah pria dan jamaah wanita di masjid ketika shalat jamaah, yaitu shaf-shaf pria berada di depan, sedangkan shaf-shaf wanita berada di belakang shaf-shaf pria. (HR Bukhari no 373, dari Anas bin Malik);

Kedua, Rasulullah SAW memerintahkan para wanita untuk keluar masjid lebih dulu setelah selesai shalat di masjid, baru kemudian para pria. (HR Bukhari no 828, dari Ummu Salamah);

Ketiga, Rasulullah SAW telah memberikan jadwal kajian Islam yang berbeda antara jamaah pria dengan jamaah wanita (dilaksanakan pada hari yang berbeda). (HR Bukhari no 101, dari Abu Said Al Khudri). (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam, hlm. 36).

 

Berdasarkan dalil-dalil ini, disimpulkan sebuah hukum umum, yaitu dalam kehidupan Islam terdapat kewajiban memisahkan jamaah pria dengan jamaah wanita. Dan pemisahan ini berlaku secara umum, yaitu tidak ada perbedaan antara kehidupan umum (al hayaat al ‘aamah) seperti di jalan raya, kendaraan umum, dengan kehidupan khusus (al hayaat al khaashah) di rumah, kos-kosan, dan apartemen. Maka dari itu, keumuman hukum ini berlaku pula di sebuah kafe, sehingga hukum asalnya wajib ada pemisahan antara pria dan wanita. (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam, hlm. 36).

 

Tidak ada yang dikecualikan dari hukum asal wajibnya pria dan wanita tersebut dipisahkan, baik dalam kehidupan umum maupun khusus, kecuali apa yang dinyatakan boleh oleh syara’ untuk berkumpul di sana, baik dalam kehidupan umum maupun khusus. Seperti jual-beli, memberi, menerima, haji, menghadiri shalat jama’ah di masjid, berjihad, dan sebagainya. Jika dalam melaksanakan hukum-hukum tersebut mengharuskan terjadinya pertemuan pria dan wanita dalam satu tempat, maka pertemuan tersebut boleh.

 

Karena dalil yang membolehkannya, atau mewajibkannya meliputi kebolehan untuk bertemu dan berkumpul dalam rangka melaksanakan hukum tersebut. Tetapi, jika dalam praktiknya bisa dilakukan tanpa bertemu dan berkumpul di suatu tempat, maka pertemuan dan berkumpulnnya pria dan wanita di tempat tersebut tidak boleh. (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam, hlm. 39-40).

 

Mengadakan jamuan makan, mengundang keluarga, baik mahram maupun kerabat non-mahram, baik di tempat umum maupun khusus, adalah perkara mubah. Kemubahan ini juga membolehkan adanya pertemuan dan berkumpulnya pria dan wanita, baik mahram maupun non-mahram dalam jamuan tersebut. Termasuk di dalam Kafe, yang merupakan tempat umum.

 

Dasarnya firman SWT, Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit, dan tidak (pula) bagi dirimu sendiri, makan (bersama-sama mereka) di rumah kamu sendiri atau di rumah bapak-bapakmu, di rumah ibu-ibumu, di rumah saudara-saudaramu yang laki-laki, di rumah saudaramu yang perempuan, di rumah saudara bapakmu yang laki-laki, di rumah saudara bapakmu yang perempuan, di rumah saudara ibumu yang laki-laki, di rumah saudara ibumu yang perempuan, di rumah yang kamu miliki kuncinya atau d irumah kawan-kawanmu.

 

Tidak ada halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka atau sendirian. Maka apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini) hendaklah kamu memberi salam kepada (penghuninya yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi berkat lagi baik. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayatnya(Nya) bagimu, agar kamu memahaminya.(Q.s. an-Nur [24]: 61)

 

Al-Qurthubi menjelaskan, “Maksudnya, sebagaimana yang dijelaskan oleh ulama’ kami dalam masalah ini: Kebolehan makan bersama, meski keadaan mereka dalam makan tadi berbeda-beda. Nabi saw. telah membenarkan praktik tersebut, sehingga itu telah menjadi tuntunan dalam jamaah yang diundang makan, dalam jamuan, walimah.. maka Anda boleh makan dengan kerabat, teman atau sendirian.” (al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Q.s. an-Nur: 61)

 

Karena itu, pria dan wanita yang makan di kafe tersebut, baik suami istri, atau bukan, seperti seorang anak laki-laki dengan ibunya, boleh. Boleh juga, dengan teman, baik pria maupun wanita.  Dalam kondisi seperti ini, boleh hukumnya pria dan wanita tersebut makan bersama di satu meja tanpa ada pemisahan. Hanya saja, pengucualian bagi pria dan wanita yang bukan mahram, untuk makan bersama ini khusus saat makan. Setelah itu, hukum pemisahan berlaku sebagaimana hukum asal.

 

Jadi, kafe syariah sudah seharusnya tidak hanya sesuai syariah dalam hal makanan atau minumannya, tapi juga harus sesuai syariah dalam pengaturan tempat duduk para pelanggannya. Di sebuah kafe, misalnya, bisa diatur ada dua ruangan. Pertama, ruangan untuk pelanggan keluarga, yaitu untuk pelanggan pria dan wanita yang mempunyai hubungan mahram. Mereka boleh makan satu meja. Kedua, ruangan untuk pelanggan umum, yaitu pelanggan pria dan wanitanya yang bukan mahram, mereka menempati meja dan kursi yang terpisah. Kecuali dalam kondisi tertentu, yang membolehkan mereka bersama, seperti jamuan makan, dan sebagainya.

 

Pemilik kafe turut berdosa jika membiarkan pelanggannya campur baur, tanpa pengaturan, padahal dia mampu mengatur kafenya agar sesuai syariah. Wallahu a’lam.

 


Artikel Lainnya





Bagi para pembaca yang ingin menanyakan masalah Agama kepada KH. M. Shiddiq Al Jawi, silakan isi form pertanyaan di bawah ini. KH. M. Shiddiq Al Jawi insya Allah akan berusaha menjawab pertanyaan dari para pembaca melalui email.