SEPUTAR HUKUM HIBAH DARI ORANG TUA KEPADA ANAKNYA


Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi

 

 

Tanya :
Ada pertanyaan : dalam kehidupan berkeluarga, kedua orang tua memiliki anak 4 orang, 1 perempuan dan 3 laki laki. Semasa hidup orang tua (ayah dan ibu) memberikan sejumlah harta kepada anak-anaknya bukan nafkah namun lebih tepat kepada hibah.
Orang tua memberikan sebidang tanah beserta 1 bangunan rumah kepada anak perempuan sebagai anak tertua dan telah berumah tangga terlebih dahulu, sedangkan adik-adiknya belum mendapatkan hibah seperti kakaknya, dan ketiga adiknya telah mengetahui perihal itu dan setuju. Apakah hibah seperti ini di perbolehkan ?
Dan saya memahami ini diperbolehkan, namun dalam beberapa waktu saya mendapatkan bahwa hibah orang tua kepada anaknya harus adil (jika 1 anak diberi sebidang tanah serta rumah, maka seluruh anak harus mendapatkan yang sama). Jika tidak demikian, maka orang tua dianggap pilih kasih dan bahkan berlaku zolim. Bagaimana sebenarnya mendudukkan hukum hibah orang tua kepada anaknya? (Hamba Allah).

 

Jawab :

Hibah dari orang tua (ayah atau ibu) kepada anak-anak mereka wajib bersifat adil. Jika tidak adil, maka hibah tersebut haram hukumnya. Misalnya, satu anak diberi hibah, sedang anak-anak lainnya tidak diberi. Dalam kondisi demikian, hibah tersebut wajib dibatalkan (difasakh) dan dibagi kepada semua ahli waris sesuai hukum waris Islam.

Jadi solusi syariah untuk pemberian harta dari ayah atau ibu yang tidak adil di antara anak-anak mereka adalah mengembalikan harta hibah tersebut (fasakh).

Dalilnya hadits Nu'man bin Basyir RA, bahwa setelah Rasulullah SAW tahu ayah Nu'man bin Basyir RA telah memberikan hibah secara tidak sama di antara anak-anaknya, maka Nu'man bin Basyir RA mengatakan :

 

فقال له رَسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم: أفعَلْتَ هذا بوَلَدِك كُلِّهم؟ قال: لا. قال: اتَّقوا اللهَ واعدِلوا في أولادِكم. فرجَعَ أبي، فرَدَّ تلك الصَّدَقةَ

"Maka bersabdalah Rasulullah SAW kepadanya,"Apakah kamu memberikan harta yang sama kepada semua anak kamu?" Dia menjawab,"Tidak." Rasulullah SAW bersabda,"Bertakwalah kamu kepada Allah, dan berlaku adillah kamu di antara anak-anak kamu." Maka kemudian dia (anak yang diberi) mengembalikan shadaqah itu. (HR Bukhari no 2587; Muslim 1623).

Berdasarkan hadits tersebut, jelas bahwa solusi untuk hibah yang tidak adil adalah membatalkan hibah tersebut.

Namun, jika saudara-saudara dari anak yang diberi hibah itu ridho atas pembagian tersebut, tanpa ada paksaan, padahal mereka sadar tidak mendapat hibah yang sama, maka hibah itu dapat diteruskan dan tidak perlu dibatalkan.

Hal ini berdasarkan bolehnya orang yang berhak untuk melepaskan haknya asalkan pelepasan hak itu dilakukan atas dasar keridhoan, yakni tidak boleh ada paksaan.

Inilah yang dalam fiqih Islam disebut dengan tanaazul 'an al haq (melepaskan hak) yang dibolehkan dalam syara', asalkan dilakukan secara sukarela.

Kebolehan tersebut disimpulkan dari istiqra' (penelusuran dalil secara induktif) terhadap dalil-dalil syara', yang darinya akan diketahui bahwa tanaazul 'an al haq (melepaskan hak) itu boleh menurut syara', asalkan dilakukan secara sukarela.

Dalil-dalil bolehnya melepaskan hak, antara lain bahwa Islam telah membolehkan kreditur yang berhak menagih piutangnya kepada debitur, untuk memutihkan piutangnya, baik sebagian atau seluruhnya. (Lihat QS Al Baqarah: 280).

Islam telah membolehkan ahlul maqtuul (keluarga korban pembunuhan) dalam kasus pembunuhan tak sengaja, untuk tidak menuntut diyat (tebusan) dari si pembunuh. (Lihat QS An Nisa : 92).

Islam telah membolehkan istri yang mempunyai hak atas seluruh maharnya, memberikan sebagian maharnya untuk dinikmati suaminya. (Lihat QS An Nisa : 4).

Islam juga telah membolehkan ahlul maqtuul (keluarga korban pembunuhan) dalam kasus pembunuhan sengaja, untuk memaafkan si pembunuh, yakni tidak menuntut qishah ataupun diyat. (QS Al Baqarah : 178-179).

Demikianlah banyak dalil syara' yang menunjukkan bolehnya tanaazul 'an al haq (melepaskan hak), asalkan dilakukan secara sukarela (tanpa paksaan).

Maka dari itu, seperti yang ditanyakan di atas, jika saudara-saudara dari anak yang diberi hibah itu memang ridho atas pembagian tersebut, maka hibah itu dapat diteruskan dan tidak perlu dibatalkan.

Wallahu a'lam.

Pekalongan, 26 April 2022

M. Shiddiq Al Jawi


Artikel Lainnya





Bagi para pembaca yang ingin menanyakan masalah Agama kepada KH. M. Shiddiq Al Jawi, silakan isi form pertanyaan di bawah ini. KH. M. Shiddiq Al Jawi insya Allah akan berusaha menjawab pertanyaan dari para pembaca melalui email.